Pendahuluan
Korupsi di tanah negeri, ibarat
“warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang
berlaku dalam tiap orde yang datang silih
berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila
disederhanakan penyebab korupsi meliputi
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor
eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari
luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif
dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk
berperilaku korup. Faktor eksternal bisa
dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi
kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis,
meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu
ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya
wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek
sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
korupsi.
A. Definisi Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari
bahasa Latin “corruptio” atau
“corruptus”. Selanjutnya dikatakan
bahwa “corruptio” berasal dari
kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin
yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.
Istilah korupsi yang telah
diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”.
Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan
bahwa :
1. Korup artinya
busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan
sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya
perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya; dan;
3. Koruptor
artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah
sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan
korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk,
menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan
dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.
Menurut Subekti dan
Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak
pidana yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip
pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang,
yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil
dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to
the economy are often labeled corrupt”.
B. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku.
Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa
ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem
politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya
permainan uang dan korupsi “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh
pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat”.
Nur Syam memberikan pandangan
bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan
dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk
menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa
diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan
korupsi.
Dengan demikian, jika
menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu
penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap
kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Pandangan
lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi,
dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Terhadap aspek perilaku individu,
Isa Wahyudi memberikan gambaran, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Lebih jauh disebutkan sebab-sebab manusia
terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b)
moral yang kurang kuat menghadapi godaan,
(c) gaya hidup konsumtif, (d) tidak mau (malas) bekerja keras.
Tidak jauh berbeda dengan
pendapat di atas, Erry Riyana Hardjapamekas menyebutkan tingginya kasus korupsi
di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan
dan kepemimpinan elite bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3)
Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,
(4) Rendahnya integritas dan profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal
di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, (6) Kondisi
lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya
keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Secara umum faktor penyebab
korupsi dapat terjadi karena faktor
politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana
dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi yang
mengidentifikasikan empat faktor
penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor
ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.
Dari beberapa uraian di atas,
tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku
korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor
penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa
berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi
dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi:
a. Aspek Perilaku
Individu
• Sifat tamak/rakus manusia.
Korupsi, bukan kejahatan
kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang
profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat
besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu
datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan
keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
• Moral yang
kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat
cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari
atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi
kesempatan untuk itu.
• Gaya hidup yang konsumtif.
Kehidupan di kota-kota besar
sering mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk
melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan
tindakan itu adalah dengan korupsi.
b. Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi
karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan
keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan
mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya.
Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman
pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
2. Faktor eksternal,
pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku.
a. Aspek sikap
masyarakat terhadap korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen
selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi
menyuburkan tindak korupsi terjadi karena :
• Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya
korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
• Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi
adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi,
sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi,
esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran
pembangunan bisa berkurang sebagai akibat
dari perbuatan korupsi.
• Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat
korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.
• Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa
dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi
adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
b. Aspek ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi
kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
c. Aspek Politis
Menurut Rahardjo bahwa kontrol
sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan
kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik,
melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.
Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi
menyebabkan perilaku korupsi
d. Aspek
Organisasi
• Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu
lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila
pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya,
misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.
• Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya
pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola
dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai
kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi
memiliki peluang untuk terjadi.
• Kurang
memadainya sistem akuntabilitas
Institusi pemerintahan umumnya
pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan
belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu
guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau
tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan
sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang
kondusif untuk praktik korupsi.
• Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan
salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi.
Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin
terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
• Lemahnya pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi
menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan
langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari
legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa
faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum
maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
C. Dampak Masif Korupsi
Korupsi tidak hanya berdampak
terhadap satu aspek kehidupan saja.
Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa
dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi
ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk,
akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu
negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk
di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal
asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin
terperosok dalam kemiskinan. Berbagai dampak masif korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara akan diuraikan di bawah ini.
A. Dampak Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek
penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap berbagai
sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi sebagai
pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara
korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan
tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk
program sosial dan kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi
makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini
mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif,
represif maupun kuratif.
Di sisi lain meningkatnya
korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa
melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika
pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya
praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi
yang semakin tertata, namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara umum.
Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi,
justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke
kantong pribadi pejabat.
Berbagai macam permasalahan
ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi sudah merajalela dan
berikut ini adalah hasil dari dampak ekonomi yang akan terjadi, yaitu:
1. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
Korupsi bertanggung jawab
terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam negeri. Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Penanaman modal yang dilakukan
oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang semestinya bisa digunakan
untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana, karena permasalahan
kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain masalah
stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC (Political and Economic Risk
Consultancy) pada akhirnya hal ini akan
menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya investasi asing
karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal ini jelas karena terjadinya tindak
korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan yang secara langsung maupun tidak
mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk
menanamkan investasinya ke Indonesia.
Kondisi negara yang korup akan
membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena investasi di negara
yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya siluman’ yang tinggi. Dalam
studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi pada pertumbuhan investasi
dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah
penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha
asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah
ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
2. Penurunan Produktifitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan
ekonomi dan investasi, maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas
akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan terhambatnya sektor
industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan
pengembangan kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan
permasalahan yang lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka
pengangguran. Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan
masyarakat.
3. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Ini adalah sepenggal kisah sedih
yang dialami masyarakat kita yang tidak perlu terjadi apabila kualitas jalan
raya baik sehingga tidak membahayakan pengendara yang melintasinya. Hal ini
mungkin juga tidak terjadi apabila tersedia sarana angkutan umum yang baik,
manusiawi dan terjangkau. Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan
tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka
telah bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Rusaknya jalan-jalan, ambruknya
jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah yang tidak layak makan, tabung
gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan masyarakat, tidak layak
dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan
serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat
korupsi. Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah
tersedia lebih banyak.
Pejabat birokrasi yang korup
akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai
praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan
kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi,
syarat-syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi
juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
4. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
Sebagian besar negara di dunia
ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat penting untuk membiayai
pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa publik, sehingga boleh
dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi negara. Di Indonesia,
dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Pajak berfungsi sebagai stabilisasi
harga sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak
juga mempunyai fungsi redistribusi pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh
negara selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan
kerja yang pada akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting
bagi kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada
akhirnya.
Kondisi penurunan pendapatan
dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan
pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya
diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada
percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak
ketidakadilan tersebut.
5. Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi perekonomian dunia yang
mengalami resesi dan hampir melanda semua negara termasuk Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa, memaksa negara-negara tersebut untuk melakukan hutang
untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup
biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting.
Bagaimana dengan hutang Indonesia?
Korupsi yang terjadi di
Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin besar. Dari data
yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang, Kementerian Keuangan
RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei 2011 mencapai US$201,07
miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah angka yang fantastis. Hutang
tersebut terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman sebesar US$69,03 miliar
(pinjaman luar negeri US$68,97 miliar) dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar US$132,05
miliar. Berdasarkan jenis mata uang, utang sebesar US$201,1 miliar tersebut terbagi
atas Rp956 triliun, US$42,4 miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi
utang pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang
dibukukan pemerintah sebesar US$169,22 miliar (Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010,
jumlahnya kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar (Rp1.676,85
triliun). Posisi utang pemerintah saat
ini juga naik dari posisi per April 2011 yang sebesar US$197,97 miliar. Jika
menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun, maka rasio utang
Indonesia tercatat sebesar 26%.
Sementara untuk utang swasta,
data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai utang pihak swasta naik pesat
dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722 miliar pada kuartal I 2011
atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja, pinjaman luar negeri swasta telah meningkat 12,6% atau naik dari US$75,207
pada kuartal I 2010. Dari total utang pada tiga bulan pertama tahun ini, utang
luar negeri swasta mayoritas disumbang oleh pihak non-bank sebesar US$71,667
miliar dan pihak bank sebesar US$13,055 miliar (www.metronews.com /read/news/
2011,14 Juni 2011).
Bila melihat kondisi secara
umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk kegiatan yang
produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan untuk menutup
defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa
membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara yang kian
membengkak ini digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan
dikorupsi secara besar-besaran.
B. Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat
Bagi masyarakat miskin korupsi
mengakibatkan dampak yang luar biasa dan
saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh
orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya
kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital
seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap
orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan
pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial
dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. Hal ini secara langsung
memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan.
1. Mahalnya Harga
Jasa dan Pelayanan Publik
Praktek korupsi yang terjadi
menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban yang ditanggung para pelaku ekonomi
akibat korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas terlihat
bahwa potensi korupsi akan sangat besar terjadi di negara-negara yang
menerapkan kontrol pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian alias
memiliki kekuatan monopoli yang besar, karena rentan sekali terhadap
penyalahgunaan. Yang disalahgunakan adalah perangkat-perangkat publik atau
pemerintahan dan yang diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat
pribadi.
2. Pengentasan
Kemiskinan Berjalan Lambat
Jumlah penduduk miskin (hidup di
bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang
(12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen).
Selama periode Maret 2010-Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan
berkurang sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret 2010
menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah perdesaan
berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret 2010
menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011).
Jumlah Penduduk
Miskin Menurut Daerah
Maret 2010 – Maret
2011
DAERAH/TAHUN
|
JUMLAH PENDUDUK
MISKIN
(JUTA ORANG)
|
PERSENTASE
PENDUDUK
MISKIN
|
Perkotaan
|
||
Maret 2010
|
11,10
|
9,87
|
Maret 2011
|
11,05
|
9,23
|
Pedesaan
|
||
Maret 2010
|
19,93
|
16,56
|
Maret 2011
|
18,97
|
15,72
|
Kota + Desa
|
||
Maret 2010
|
31,02
|
13,33
|
Maret 2011
|
30,02
|
12,49
|
Pengentasan kemiskinan dirasakan
sangat lambat. Hal ini terjadi karena berbagai sebab seperti lemahnya
koordinasi dan pendataan, pendanaan dan lembaga. Karena korupsi dan
permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat masyarakat
sulit untuk mendapatkan akses ke lapangan kerja yang disebabkan latar belakang
pendidikan, sedangkan untuk membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh
kemampuan, masalah teknis dan pendanaan.
3. Terbatasnya
Akses Bagi Masyarakat Miskin
Korupsi yang telah menggurita
dan terjadi di setiap aspek kehidupan mengakibatkan high-cost economy, di mana
semua harga-harga melambung tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat
miskin. Kondisi ini mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan
berbagai macam akses dalam kehidupannya. Harga bahan pokok seperti beras, gula,
minyak, susu dan sebagainya saat ini sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan
penderitaan khusunya bagi bayi dan anak-anak karena ketercukupan gizinya
kurang. Untuk mendapatkan bahan pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan
sejumlah besar uang dari sedikit pendapatan yang dimilikinya.
Rakyat miskin tidak bisa
mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan, kesehatan, rumah layak huni,
informasi, hukum dsb. Rakyat miskin lebih mendahulukan mendapatkan bahan pokok
untuk hidup daripada untuk sekolah. Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat
miskin karena mengalami kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya
rakyat miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang miskin seumur
hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.
4. Meningkatnya
Angka Kriminalitas
Dampak korupsi, tidak diragukan
lagi dapat menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Melalui
praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa
melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan.
Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
Menurut Transparency International, terdapat
pertalian erat antara korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya,
ketika korupsi meningkat, angka
kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil
dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law
enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi dapat juga
(secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.
5. Solidaritas
Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi
Korupsi yang begitu masif yang
terjadi membuat masyarakat merasa tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk
menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin
kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini dilakukan
hanya menjadi retorika saja.
Masyarakat semakin lama menjadi
semakin individualis yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya
saja. Mengapa masyarakat melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang
sudah tidak ada lagi kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar
masyarakat sendiri.Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah
atau bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang
membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan semakin
menderita.
Di lain sisi partai-partai
politik berlomba-lomba mendirikan posko bantuan yang tujuan utamanya adalah
sekedar mencari dukungan suara dari masyarakat yang terkena musibah atau
bencana, bukan secara tulus meringankan penderitaan dan membantu agar lebih
baik.Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada
lagi keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi
ini akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi
generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan oleh
para elit politik, pejabat penguasa dan penegak hukum.
C. Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi
1. Munculnya Kepemimpinan Korup
Kondisi politik yang carut marut
dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak
demokratis. Perilaku koruptif dan tindak
korupsi dilakukan dari tingkat yang paling bawah. Konstituen di dapatkan dan berjalan karena
adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai, bukan karena
simpati atau percaya terhadap kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan
transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun memunculkan pemimpin
yang korup juga karena proses yang dilakukan juga transaksional. Masyarakat juga
seolah-olah digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan
mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat sekaligus
menerima suap dari calon pemimpin tersebut.
2. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi
Demokrasi yang diterapkan di
Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak korupsi
besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau petinggi
partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan
publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Masyarakat akan semakin apatis
dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah. Apatisme yang terjadi
ini seakan memisahkan antara masyarakat dan pemerintah yang akan terkesan
berjalan sendiri-sendiri. Hal ini benar-benar harus diatasi dengan kepemimpinan
yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia
masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun menyimpan berbagai
kerentanan.
3. Menguatnya Plutokrasi
Korupsi yang sudah menyandera
pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi
(sitem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian
orang atau perusahaan besar melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga
pada suatu saat merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.
Perusahaan-perusahaan besar ternyata juga ada hubungannya
dengan partai-partai yang ada di kancah perpolitikan negeri ini, bahkan
beberapa pengusaha besar menjadi ketua sebuah partai politik. Tak urung antara
kepentingan partai dengan kepentingan perusahaan menjadi sangat ambigu.
4. Hancurnya Kedaulatan Rakyat
Dengan semakin jelasnya
plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok
tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar mengendalikan politik
dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan perusahaan besar.Bila kita
melihat sisi lain politik, seharusnya kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun
yang terjadi sekarang ini adalah kedaulatan ada di tangan partai politik, karena
anggapan bahwa partailah bentuk representasi rakyat.
Partai adalah dari rakyat dan
mewakili rakyat, sehingga banyak orang yang menganggap bahwa wajar apabila
sesuatu yang didapat dari negara dinikmati oleh partai (rakyat). Kita melihat
pertarungan keras partai-partai politik untuk memenangkan pemilu, karena yang
menanglah yang akan menguasai semuanya
(the winner takes all).
Tapi bukannya sudah jelas bahwa
partai politik dengan kendaraan perusahaan besar sajalah yang diatas kertas
akan memenangkan pertarungan tersebut. Artinya sekali lagi, hanya akan ada
sekelompok orang saja yang menang dan menikmati kekayaan yang ada. Hal ini
terus berulang dari masa ke masa. Rakyat terus terombang-ambing dalam
kemiskinan dan ketidak jelasan masa depan. Di mana kedaulatan rakyat yang
sebenarnya?
D. DAMPAK TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
1. Fungsi Pemerintahan Mandul
Korupsi telah mengikis banyak
kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Bentuk hubungan
yang bersifat transaksional yang lazim dilakukan oleh berbagai lembaga
pemerintahan begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat yang tergambar dengan hubungan
partai politik dengan voter-nya, menghasilkan
kondisi yang sangat rentan terhadap terjadinya praktek korupsi. Korupsi, tidak
diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik
atau pemerintahan.
Pada dasarnya, isu korupsi lebih
sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih luas, dampak
korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat mencoreng
kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat
bersifat sosial. Korupsi yang berdampak sosial sering bersifat samar,
dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih nyata.
Selanjutnya masyarakat cenderung
meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan
tindak korupsi. Di sisi lain lembaga politik sering diperalat untuk menopang
terwujudnya kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga
politik telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit.
2. Hilangnya Kepercayaan Rakyat Terhadap Lembaga Negara
Korupsi yang terjadi pada
lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia dan marak diberitakan
di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
tersebut hilang. Berikut ini lembaga negara yang paling korup menurut Barometer
Korupsi Global (BKG) pada tahun 2009:
a. Legislatif
(Dewan Perwakilan Rakyat)
b. Partai Politik
c. Kepolisian RI
d. Lembaga Peradilan (Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung)
Akhir-akhir ini masyarakat kita
banyak menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan
hukum di Indonesia. Mulai kasus Gayus Tambunan sampai perang kepentingan di Kepolisian
RI dalam menindak praktek mafia hukum. Berita yang paling akhir adalah kasus
korupsi besar-besaran pembangunan wisma atlet di Palembang dan kasus Hambalang
yang melibatkan pejabat pemerintahan dan para petinggi Partai Politik yang
berkuasa yang pada akhirnya terkait dengan kinerja pemerintahan yang sedang
berjalan.
D.Nilai & Prinsip Anti
Korupsi
Mengacu pada berbagai aspek yang
dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi sebagaimana telah dipaparkan dalam
bab sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan penyebab
korupsi yang datangnya dari diri pribadi atau individu, sedangkan faktor
eksternal berasal dari lingkungan atau sistem. Upaya pencegahan korupsi pada
dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi kedua
faktor penyebab korupsi tersebut.
Faktor internal sangat
ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri
setiap individu. Nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi
kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh
setiap individu untuk dapat mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak
terjadi. Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki
nilai-nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam
prinsip-prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan,
dan kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat. Oleh karena
itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
A. NILAI-NILAI ANTI KORUPSI
Nilai-nilai anti korupsi yang
akan dibahas meliputi kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan,
pertanggungjawaban, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan.
Nilai-nilai inilah yang akan mendukung prinsip-prinsip anti korupsi untuk dapat
dijalankan dengan baik.
1. Kejujuran
Nilai kejujuran dalam kehidupan
sangatlah diperlukan, nilai kejujuran ibaratnya seperti mata uang yang berlaku
dimana-mana. Jika seseorang terbukti melakukan tindakan yang tidak jujur, baik
pada lingkup keluarga maupun bermasyarakat, maka selamanya orang lain akan
selalu merasa ragu untuk mempercayai orang tersebut. Sebagai akibatnya orang
itu akan selalu mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Hal ini juga akan menyebabkan
ketidaknyamanan bagi orang lain karena selalu merasa curiga terhadap orang
tersebut yang terlihat selalu berbuat curang atau tidak jujur. Selain itu jika seseorang
pernah melakukan kecurangan ataupun
kebohongan, akan sulit untuk dapat memperoleh kembali kepercayaan dari masyarakat
disekitarnya. Sebaliknya jika terbukti bahwa orang tersebut tidak pernah
melakukan tindakan kecurangan maupun kebohongan maka orang tersebut tidak akan
mengalami kesulitan yang disebabkan tindakan tercela tersebut.
2. Kepedulian
Nilai kepedulian sangat penting
bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. seseorang perlu memiliki rasa
kepedulian terhadap lingkungannya.
3. Kemandirian
Kondisi mandiri bagi seseorang dapat
diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak bergantung pada
orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini penting untuk
masa depannya dimana orang tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-orang
yang berada di bawah tanggung jawabnya sebab tidak mungkin orang yang tidak
dapat mandiri (mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain.
4. Kedisiplinan
Dalam mengatur kehidupan sosial seseorang
perlu hidup disiplin, hidup disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola
militer di barak militier namun hidup disiplin di sini adalah dapat mengatur
dan mengelola waktu yang ada untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Manfaat dari hidup yang disiplin
adalah dapat mencapai tujuan hidupnya dengan waktu yang lebih efisien. Disiplin
juga membuat orang lain percaya dalam mengelola suatu kepercayaan.
5. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah menerima
segala sesuatu dari sebuah perbuatan yang salah, baik itu disengaja maupun
tidak disengaja. Tanggung jawab tersebut berupa perwujudan kesadaran akan
kewajiban menerima dan menyelesaikan semua masalah yang telah di lakukan.
Tanggung jawab juga merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan.
Seseorang yang memiliki rasa
tanggung jawab akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugasnya lebih baik
dibanding orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Seseorang yang
memiliki rasa tanggung jawab akan mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati
karena berpikir bahwa jika suatu tugas tidak dapat diselesaikan dengan baik
dapat merusak citra namanya di depan orang lain. Seseorang yang dapat diberikan
tanggung jawab yang kecil dan berhasil melaksanakannya dengan baik berhak untuk
mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar lagi sebagai hasil dari kepercayaan
orang lain terhadap orang tersebut.
6. Kerja keras
Bekerja keras didasari dengan
adanya kemauan. Kata ”kemauan” menimbulkan asosiasi dengan ketekadan,
ketekunan, daya tahan, tujuan jelas, daya kerja, pendirian, pengendalian diri,
keberanian, ketabahan, keteguhan, tenaga, kekuatan dan pantang mundur. Adalah
penting sekali bahwa kemauan seseorang harus berkembang ke taraf yang lebih
tinggi karena harus menguasai diri sepenuhnya lebih dulu untuk bisa menguasai
orang lain.
Setiap kali seseorang penuh dengan harapan dan percaya,
maka akan menjadi lebih kuat dalam melaksanakan pekerjaannya. Jika interaksi
antara individu dapat dicapai bersama dengan usaha kerja keras maka hasil yang
akan dicapai akan semakin optimum. Bekerja keras merupakan hal yang penting
guna tercapainya hasil yang sesuai dengan target.
7. Sederhana
Gaya hidup merupakan hal yang
penting dalam interaksi dengan masyarakat di sekitar. Gaya hidup sederhana
sebaiknya perlu dikembangkan. Dengan gaya hidup sederhana, seseorang dibiasakan
untuk tidak hidup boros, hidup sesuai dengan kemampuannya dan dapat memenuhi
semua kebutuhannya. Kerap kali kebutuhan diidentikkan dengan keinginan semata,
padahal tidak selalu kebutuhan sesuai dengan keinginan dan sebaliknya.
Dengan menerapkan prinsip hidup
sederhana, seseorang dibina untuk memprioritaskan kebutuhan di atas keinginannya.
Prinsip hidup sederhana ini merupakan parameter penting dalam menjalin hubungan
antara sesama, karena prinsip ini akan mengatasi permasalahan kesenjangan
sosial, iri, dengki, tamak, egois, dan sikap-sikap negatif lainnya.
8. Keberanian
Untuk menumbuhkan sikap
keberanian, seseorang dituntut untuk tetap berpegang teguh pada tujuan.
Terkadang seseorang tetap diberikan pekerjaan-pekerjaan yang sukar untuk
menambahkan sikap keberaniannya. Kebanyakan kesukaran dan kesulitan yang paling
hebat lenyap karena kepercayan kepada diri sendiri. Seseorang memerlukan
keberanian untuk mencapai kesuksesan. Tentu saja keberanian ini akan semakin
matang diiringi dengan keyakinannya.
9. Keadilan
Berdasarkan arti katanya, adil
adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Karakter adil ini perlu
sekali dibina agar dapat belajar mempertimbangkan dan mengambil keputusan
secara adil dan benar. Di dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran-pemikiran
sebagai dasar pertimbangan untuk menghasilkan keputusan akan terus berkembang
seiring dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Setiap orang perlu didorong untuk mencari
pengalaman dan pengetahuan melalui interaksinya dengan sesama. Dengan demikian seseorang
diharapkan dapat semakin bijaksana dalam mengambil keputusan dimana
permasalahannya semakin lama semakin kompleks atau rumit untuk diselesaikan.
B. PRINSIP-PRINSIP
ANTI-KORUPSI
Setelah memahami nilai-nilai
anti korupsi yang penting untuk mencegah faktor internal terjadinya korupsi,
berikut akan dibahas prinsip-prinsip Anti-korupsi yang meliputi akuntabilitas,
transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan, untuk mencegah
faktor eksternal penyebab korupsi.
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kesesuaian
antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua lembaga mempertanggung jawabkan
kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk konvensi (de facto) maupun
konstitusi (de jure), baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun
pada level lembaga. Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas
semua kegiatan yang dilakukan.
2. Transparansi
Salah satu prinsip penting anti
korupsi lainnya adalah transparansi. Prinsip transparansi ini penting karena
pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan mengharuskan semua proses
kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat
diketahui oleh publik. Selain itu transparansi menjadi pintu masuk sekaligus
kontrol bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan.
Dalam bentuk yang paling
sederhana, transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling
menjunjung tinggi kepercayaan karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran
ini merupakan modal awal yang sangat berharga untuk dapat melanjutkan tugas dan
tanggungjawabnya pada masa kini dan masa mendatang.
3. Kewajaran
Prinsip anti korupsi lainnya
adalah prinsip kewajaran, prinsip
fairness atau kewajaran ini ditujukan untuk mencegah terjadinya
manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up
maupun ketidakwajaran lainnya. Sifat-sifat prinsip kewajaran ini terdiri
dari lima hal penting yaitu komprehensif dan disiplin, fleksibilitas,
terprediksi, kejujuran, dan informatif.
4. Kebijakan
Prinsip anti korupsi yang
keempat adalah prinsip kebijakan. Pembahasan mengenai prinsip ini ditujukan
agar seseorang dapat mengetahui dan memahami kebijakan anti korupsi. Kebijakan
ini berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang
dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti korupsi ini tidak selalu
identik dengan undang-undang anti korupsi, namun bisa berupa undang-undang
kebebasan mengakses informasi, undang-undang desentralisasi, undang-undang anti
monopoli, maupun lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus
mengontrol terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat
negara.
5. Kontrol kebijakan
Prinsip terakhir anti korupsi
adalah kontrol kebijakan. Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang
dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Pada prinsip
ini, akan dibahas mengenai lembaga-lembaga pengawasan di Indonesia, self evaluating
organization, reformasi sistem pengawasan di Indonesia, problematika pengawasan
di Indonesia. Bentuk kontrol kebijakan berupa partisipasi, evolusi dan
reformasi.
Kontrol kebijakan berupa
partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta dalam
penyusunan dan pelaksanaannya dan kontrol kebijakan berupa oposisi yaitu mengontrol dengan menawarkan alternatif
kebijakan baru yang dianggap lebih layak. Sedangkan kontrol kebijakan berupa
revolusi yaitu mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap tidak
sesuai.
E.Upaya Pemberantasan
Korupsi
Ada yang mengatakan bahwa upaya
yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah menghukum seberat-beratnya
pelaku korupsi. Dengan demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan
dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Merupakan
sebuah realita bahwa kita sudah memiliki berbagai perangkat hukum untuk
memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan.
Kita memiliki lembaga serta
aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan peraturan tersebut baik
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kita bahkan memiliki sebuah lembaga
independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kesemuanya
dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi. Namun apa yang terjadi?
Korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. Sedihnya lagi, dalam
realita ternyata lembaga dan aparat yang telah ditunjuk tersebut dalam beberapa
kasus justru ikut menumbuhsuburkan korupsi yang terjadi di Indonesia.
Ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa bekal pendidikan (termasuk Pendidikan Agama) memegang peranan
yang sangat penting untuk mencegah korupsi. Benarkah demikian? Yang cukup
mengejutkan, negara-negara yang tingkat korupsinya cenderung tinggi, justru
adalah negara-negara yang masyarakatnya dapat dikatakan cukup taat
beragama. Ada yang mengatakan bahwa
untuk memberantas korupsi, sistem dan lembaga pemerintahan serta
lembaga-lembaga negara harus direformasi. Reformasi ini meliputi reformasi
terhadap sistem, kelembagaan maupun pejabat publiknya.
Penting pula untuk membentuk lembaga
independen yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga ini harus
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya kepada rakyat. Ruang gerak serta
kebebasan menyatakan pendapat untuk masyarakat sipil (civil society) harus
ditingkatkan, termasuk di dalamnya mengembangkan pers yang bebas dan
independen.Di sini akan dipaparkan berbagai upaya pemberantasan korupsi yang
dapat dan telah dipraktekkan di berbagai negara. Ada beberapa bahan menarik
yang dapat didiskusikan dan digali bersama untuk melihat upaya yang dapat kita
lakukan untuk memberantas korupsi.
A. Konsep Pemberantasan Korupsi
Tidak ada jawaban yang tunggal
dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian
masif di suatu negara. Ada yang menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit
‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti
perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel
pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk
diberantas. Perlu dipahami bahwa dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu,
korupsi memang akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat.
B. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum
Pidana
Kebijakan penanggulangan
kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau criminal
policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008)
:
1. kebijakan
penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. kebijakan pencegahan
tanpa hukum pidana (prevention without punishment);
3. kebijakan untuk
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass
media (influencing views of society on
crime and punishment / mass media).
Melihat pembedaan tersebut,
secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal
(diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara
kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur
penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive
(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan).
C.Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi
Berikut akan dipaparkan berbagai
upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang dikembangkan
oleh United Nations yang dinamakan the
Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations
Anti-Corruption Toolkit.
1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
a. Salah satu cara
untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang
khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara didirikan lembaga
yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh Parlemen
Swedia dengan nama Justitie ombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga ombudsman
yang kemudian berkembang pula di negara lain antara lain menyediakan sarana
bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga
Pemerintah dan pegawainya.
Selain itu lembaga ini juga memberikan
edukasi pada pemerintah dan masyarakat serta mengembangkan standar perilaku
serta code of conduct bagi lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang
membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian
serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang
baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah.
Di Hongkong dibentuk lembaga
anti korupsi yang bernama Independent
Commission against Corruption (ICAC), di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA). Kita sudah
memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga
tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari
tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial
(tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh
hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk
karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti
pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan.
c. Reformasi
birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk mencegah
korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal,
semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk
menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan
mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk
mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha
atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
d. Salah satu hal
yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan
memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah
diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan
demikian korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota negara atau di
Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong
korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi berkembang di
berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga
perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
e. Dalam berbagai
pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota
parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil
rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan
berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan
DPRD yang terbukti melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di
Indonesia.
Untuk itu kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau
‘mencontreng’ pada saat Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil
rakyat yang punya integritas. Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan
mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Salah-salah
kebijakan tersebut justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak bukan bagi
kepentingan rakyat.
2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
a. Salah satu cara
untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan
dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah
menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran
peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan
jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang
didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain
misalnya anggota keluarga.
b. Korupsi juga
banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer baru.
Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem
yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota
militer juga perlu dikembangkan.
c. Selain sistem
perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitikberatkan pada
pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk
meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai
negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian
dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu
kinerja pegawai negeri.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
a. Salah satu
upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan
akses terhadap informasi (access to
information). Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk
media) diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat
meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya
secara transparan.
b. Isu
mengenai public awareness atau kesadaran
serta kepedulian publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat
adalah salah satu bagian yang sangat penting dari upaya memberantas korupsi.
Salah satu cara untuk meningkatkan
public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya
korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu korupsi,
dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.
c. Salah satu cara
untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi
adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk melaporkan kasus
korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana masyarakat dapat dengan
mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya.
Mekanisme tersebut harus dipermudah atau disederhanakan misalnya via telepon,
surat atau telex. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet
adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasus-kasus
korupsi.
d. Pers yang bebas
adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima
oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Media yang bebas
sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Selain berfungsi sebagai alat
kampanye mengenai bahaya korupsi, media memiliki fungsi yang efektif untuk
melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.
e. Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau internasional juga memiliki
peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka adalah bagian
dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat diremehkan
begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti-Korupsi
banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki fungsi untuk
melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.
4. Monitoring dan Evaluasi
Ada satu hal penting lagi yang
harus dilakukan dalam rangka mensukseskan pemberantasan korupsi, yakni
melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit
mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan
evaluasi, dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal.
Untuk strategi atau program yang
sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya.
Pengalaman negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal dapat dijadikan
bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya maupun program
pemberantasan korupsi di negara kita.
6. Kerjasama Internasional
Hal lain yang perlu dilakukan
dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama internasional atau
kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs. Sebagai
contoh saja, di tingkat internasional,
Transparency Internasional (TI)
misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank
membuat program A Framework for Integrity.
F.Gerakan, Kerjasama dan
Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi
Korupsi adalah salah satu
masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat internasional pada
saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak dasar manusia dan
menyebabkan macetnya demokrasi dan proses demokratisasi, namun juga mengancam
pemenuhan hak asasi manusia, merusak lingkungan hidup, menghambat pembangunan
dan meningkatkan angka kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia.Keinginan
masyarakat internasional untuk memberantas korupsi dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang lebih baik, lebih bersih dan lebih bertanggung-jawab sangat besar.
Keinginan ini hendak diwujudkan
tidak hanya di sektor publik namun juga di sektor swasta. Gerakan ini dilakukan
baik oleh organisasi internasional maupun Lembaga Swadaya Internasional
(International NGOs). Berbagai gerakan dan kesepakatan-kesepakatan
internasional ini dapat menunjukkan keinginan masyarakat internasional untuk
memberantas korupsi. Gerakan masyarakat sipil
(civil society) dan sektor swasta di tingkat internasional patut perlu
diperhitungkan, karena mereka telah dengan gigih berjuang melawan korupsi yang
membawa dampak negatif rusaknya perikehidupan umat manusia.
A. GERAKAN ORGANISASI INTERNASIONAL
1. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations)
Setiap 5 (lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations) menyelenggarakan Kongres tentang Pencegahan Kejahatan dan
Perlakuan terhadap Penjahat atau sering disebut United Nation Congress on Prevention
on Crime and Treatment of Offenders.
Pada kesempatan pertama, Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955.
Sampai saat ini kongres PBB ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12
diadakandi Salvador pada bulan April 2010.
Dalam Kongres PBB ke-10 yang
diadakan di Vienna (Austria) pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi menjadi
topik pembahasan yang utama. Dalam introduksi di bawah tema International Cooperation in Combating
Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century dinyatakan
bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan. Dalam resolusi 54/128
of 17 December 1999, di bawah judul “Action against Corruption”, Majelis Umum
PBB menegaskan perlunya pengembangan strategi
global melawan korupsi dan mengundang negara-negara anggota PBB untuk
melakukan review terhadap seluruh kebijakan serta peraturan perundang-undangan
domestik masing-masing negara untuk mencegah dan melakukan kontrol terhadap
korupsi.
2. Bank Dunia (World Bank)
Setelah tahun 1997, tingkat
korupsi menjadi salah satu pertimbangan atau prakondisi dari bank dunia (baik
World Bank maupun IMF) memberikan pinjaman untuk negara-negara berkembang.
Untuk keperluan ini, World Bank Institute mengembangkan Anti-Corruption Core,
Program yang bertujuan untuk menanamkan awareness mengenai korupsi dan
pelibatan masyarakat sipil untuk pemberantasan korupsi, termasuk menyediakan
sarana bagi negara-negara berkembang untuk mengembangkan rencana aksi nasional
untuk memberantas korupsi.
3. OECD
(Organization for Economic Co-Operation and Development)
Setelah ditemuinya kegagalan
dalam kesepakatan pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada sekitar
tahun 1970-an, OECD, didukung oleh PBB mengambil langkah baru untuk memerangi
korupsi di tingkat internasional. Sebuah badan pekerja atau working group on Bribery in International
Business Transaction didirikan pada tahun 1989. Pada awalnya kegiatan-kegiatan
yang dilakukan OECD hanya melakukan perbandingan atau me-review konsep, hukum
dan aturan di berbagai negara dalam berbagai bidang tidak hanya hukum pidana,
tetapi juga masalah perdata, keuangan dan perdagangan serta hukum administrasi.
Pada tahun 1997, Convention on
Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction
disetujui. Tujuan dikeluarkannya instrumen ini adalah untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana suap dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi
ini menghimbau negara-negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman
(pidana) bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah tindak
pidana suap dalam bidang ini.
4. Masyarakat Uni Eropa
Di negara-negara Uni Eropa,
gerakan pemberantasan korupsi secara internasional dimulai pada sekitar tahun
1996. Tahun 1997, the Council of Europe Program against Corruption menerima
kesepakatan politik untuk memberantas korupsi dengan menjadikan isu ini sebagai
agenda prioritas. Pemberantasan ini dilakukan dengan pendekatan serta
pengertian bahwa: karena korupsi mempunyai banyak wajah dan merupakan masalah
yang kompleks dan rumit, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan
pendekatan multi-disiplin; monitoring yang efektif, dilakukan dengan kesungguhan
dan komprehensif serta diperlukan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum.
Pada tahun 1997, komisi
menteri-menteri negara-negara Eropa mengadopsi 20 Guiding Principles untuk memberantas korupsi,
dengan mengidentifikasi area-area yang rawan korupsi dan meningkatkan cara-cara
efektif dan strategi pemberantasannya. Pada tahun 1998 dibentuk GRECO atau the
Group of States against Corruption yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya negara-negara Uni Eropa
mengadopsi the Criminal Law Convention on Corruption, the Civil Law Convention
on Corruption dan Model Code of Conduct for Public Officials.
B. GERAKAN LEMBAGA
SWADAYA INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL NGOs)
1. Transparency International
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional
non-pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian
mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat
internasional. Setiap tahunnya TI menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi serta
daftar perbandingan korupsi di negara-negara di seluruh dunia. TI berkantor
pusat di Berlin, Jerman, didirikan pada sekitar bulan Mei 1993 melalui
inisiatif Peter Eigen, seorang mantan direktur regional Bank Dunia (World
Bank).
Pada tahun 1995, TI
mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index). CPI
membuat peringkat tentang prevalensi korupsi di berbagai negara, berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang
diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI
disusun dengan memberi nilai atau score pada negara-negara mengenai tingkat
korupsi dengan range nilai antara 1-10. Nilai 10 adalah nilai yang tertinggi
dan terbaik sedangkan semakin rendah nilainya, negara dianggap atau ditempatkan
sebagai negara-negara yang tinggi angka korupsinya.
POSISI INDONESIA
DALAM INDEKS PERSEPSI KORUPSI TI
Tahun
|
Score CPI
|
Nomor /
Peringkat
|
Jumlah Negara
Yang Disurvei
|
2002
|
1.9
|
96
|
102
|
2003
|
1.9
|
122
|
133
|
2004
|
2.0
|
133
|
145
|
2005
|
2.2
|
137
|
158
|
2006
|
2.4
|
130
|
163
|
2007
|
2.3
|
143
|
179
|
2008
|
2.6
|
126
|
166
|
Dalam survey ini, setiap tahun
umumnya Indonesia menempati peringkat
sangat buruk dan buruk. Namun setelah tahun 2009, nilai rapor ini
membaik sedikit demi sedikit. Tidak jelas faktor apa yang memperbaiki nilai
ini, namun dalam realita situasi dan kondisi korupsi secara kualitatif justru
terlihat semakin parah. Melihat laporan survey TI, nampak bahwa peringkat
Indonesia semakin tahun semakin membaik. Namun cukup banyak pula masyarakat
Indonesia dan masyarakat internasional yang tidak terlalu yakin terhadap
validitas survey tersebut. Walaupun tidak benar, secara sinis di Indonesia ada
gurauan
2. TIRI
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah
organisasi independen internasional non-pemerintah yang memiliki head-office di
London, United Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara
termasuk Jakarta. TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas,
kesempatan besar untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan merata di
seluruh dunia akan dapat tercapai. Misi dari TIRI adalah memberikan kontribusi
terhadap pembangunan yang adil dan berkelanjutan dengan mendukung pengembangan
integritas di seluruh dunia. TIRI berperan sebagai katalis dan inkubator untuk
inovasi baru dan pengembangan jaringan.
Organisasi ini bekerja dengan
pemerintah, kalangan bisnis, akademisi dan masyarakat sipil, melakukan sharing
keahlian dan wawasan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis
yang diperlukan untuk mengatasi korupsi dan mempromosikan integritas. TIRI
memfokuskan perhatiannya pada pencarian hubungan sebab akibat antara kemiskinan
dan tata pemerintahan yang buruk. Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah
dengan membuat jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum
Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi.
C. INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI
1. United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Salah satu instrumen
internasional yang sangat penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
korupsi adalah United Nations Convention against Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari 140
negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi internasional yang
diselenggarakan di Mérida, Yucatán,
Mexico, pada tanggal 31 Oktober 2003.
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan
Peradilan. Namun menurut konvensi ini, salah satu hal yang terpenting dan utama
adalah masalah pencegahan korupsi. Bab yang terpenting dalam konvensi
didedikasikan untuk pencegahan korupsi dengan mempertimbangkan sektor publik
maupun sektor privat (swasta). Salah satunya dengan mengembangkan model
kebijakan preventif seperti :
• pembentukan badan anti-korupsi;
• peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye
untuk pemilu dan partai politik;
• promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan
publik;
• rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai
negeri) dilakukan berdasarkan prestasi;
• adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik
(pegawai negeri) dan mereka harus tunduk pada kode etik tsb;
• transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
• penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai
negeri yang korup;
• dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada
sektor publik yang sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan
publik;
• promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik;
• untuk pencegahan korupsi yang efektif, perlu upaya dan
keikutsertaan dari selu-ruh komponen masyarakat;
• seruan kepada negara-negara untuk secara aktif
mempromosikan keterlibatan organisasi non-pemerintah (LSM/NGOs) yang berbasis
masyarakat, serta unsur-unsur lain dari civil society;
• peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness)
terhadap korupsi termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan
oleh masyarakat yang mengetahui telah terjadi TP korupsi.
2. Convention on Bribery of Foreign Public Official in
International Business
Transaction Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh
OECD. Konvensi Anti Suap ini menetapkan standar-standar hukum yang mengikat
(legally binding) negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi pejabat publik
asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi
ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah yang terkait yang
harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi konvensi akan dijalankan
oleh negara-negara peserta secara efektif.
Convention on Bribery of Foreign
Public Official in International Business Transaction adalah konvensi
internasional pertama dan satu-satunya instrumen anti korupsi yang memfokuskan
diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana suap. Ada 34 negara anggota OECD dan
empat negara non-anggota yakni Argentina, Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan
yang telah meratifikasi dan mengadopsi konvensi internasional ini.
D. PENCEGAHAN KORUPSI : BELAJAR DARI NEGARA LAIN
India adalah salah satu negara
demokratis yang dapat dianggap cukup sukses memerangi korupsi. Meskipun korupsi
masih cukup banyak ditemui, dari daftar peringkat negara-negara yang disurvey
oleh Transparency Internasional (TI), India menempati ranking lebih baik
daripada Indonesia. Pada tahun 2005, dari survey yang dilakukan oleh TI, 62%
rakyat India percaya bahwa korupsi benar-benar ada dan bahkan terasa dan
dialami sendiri oleh masyarakat yang di-survey. Di India, Polisi menduduki
ranking pertama untuk lembaga yang terkorup diikuti oleh Pengadilan dan Lembaga
Pertanahan. Dari survey TI, pada tahun 2007,
India menempati peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China dan Brazil). Pada
tahun yang sama, negara tetangga India seperti Srilangka menempati peringkat
94, Pakistan peringkat 138 dan Bangladesh peringkat 162. Pada tahun 2007
tersebut, Indonesia menempati nomor 143 bersama-sama dengan Gambia, Rusia dan
Togo dari 180 negara yang di-survey. Peringkat yang cukup buruk jika
dibandingkan dengan India yang sama-sama negara berkembang.
G.Tindak Pidana Korupsi
dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sejarah pemberantasan korupsi
yang cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa pemberantasan tindak pidana
korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra keras dan membutuhkan kemauan
politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa. Politik
pemberantasan korupsi itu sendiri tercermin dari peraturan perundang-undangan
yang dilahirkan pada periode pemerintahan tertentu. Lahirnya undang-undang yang
secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi
sesungguhnya tidaklah cukup untuk menunjukkan keseriusan atau komitmen
pemerintah. Perlu lebih dari sekedar melahirkan suatu peraturan
perundang-undangan, yaitu menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang
dengan cara mendorong aparat penegak hukum yang berwenang untuk memberantas
korupsi dengan cara-cara yang tegas, berani, dan tidak pandang bulu.
1. Delik Korupsi dalam KUHP
KUHP yang diberlakukan di
Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan Belanda. Ia merupakan
kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi, diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752
berdasarkan KB 15 Oktober 1915. Sebagai hasil saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, berarti 34 tahun lamanya baru terjelma
unifikasi berdasar asas konkordansi ini. Dengan demikian, KUHP itu pada waktu
dilahirkan bukan barang baru. Dalam pelaksanaannya, diperlukan banyak
penyesuaian untuk memberlakukan KUHP di Indonesia mengingat sebagai warisan
Belanda terdapat banyak ketentuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat Indonesia.
Meski tidak secara khusus
mengatur mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya, KUHP telah mengatur banyak
perbuatan korupsi, pengaturan mana kemudian diikuti dan ditiru oleh pembuat
undang-undang pemberantasan korupsi hingga saat ini. Namun demikian terbuka
jalan lapang untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai dan selaras dengan tata
hidup masyarakat Indonesia mengingat KUHP yang kita miliki sudah tua dan sering
diberi merek kolonial.Dalam perjalanannya KUHP telah diubah, ditambah, dan
diperbaiki oleh beberapa undang-undang nasional seperti Undang-undang Nomor 1
tahun 1946, Undang-undang Nomor 20 tahun 1946, dan Undang-undang Nomor 73 tahun
1958, termasuk berbagai undang-undang mengenai pemberantasan korupsi yang
mengatur secara lebih khusus beberapa ketentuan yang ada di KUHP.
2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat
Nomor Prt/ Peperpu/013/1950.
Pendapat yang menyatakan bahwa
korupsi disebabkan antara lain oleh buruknya peraturan yang ada telah dikenal
sejak dulu. Dengan demikian pendapat bahwa perbaikan peraturan antikorupsi akan
membawa akibat berkurangnya korupsi tetap menjadi perdebatan.Peraturan yang
secara khusus mengatur pemberantasan korupsi adalah Peraturan Pemberantasan
Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti
dengan Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957,
tanggal 27 mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor
Prt/PM/011/1957.
3. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak
Pidana Korupsi.
Dari permulaan dapat diketahui
bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang Pemberantasan Korupsi itu
bersifat darurat, temporer, dan berlandaskan Undang-undang Keadaan Bahaya.
Dalam keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan
penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun
1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.Perubahan utama dari Peraturan
Penguasa Perang Pusat ke dalam Undang-undang ini adalah diubahnya istilah
perbuatan menjadi tindak pidana. Namun demikian undang-undang ini ternyata
dianggap terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya
lebih sulit.
4. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Sejarah tidak mencatat banyak
perkara tindak pidana korupsi pada periode 1960-1970. Tidak diketahui apakah karena
undang-undang tahun 1960 tersebut efektif ataukah karena pada periode lain
sesudahnya memang lebih besar kuantitas maupun kualitasnya.Dalam periode
1970-an, Presiden membentuk apa yang dikenal sebagai Komisi 4 dengan maksud
agar segala usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Komisi 4 ini terdiri dari beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof.
Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.
Adapun tugas Komisi 4 adalah:
a. Mengadakan
penelitian dan penilaian terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pemberantasan korupsi.
b. Memberikan
pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan
dalam pemberantasan korupsi.
5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Seiring dengan gerakan reformasi
yang timbul dari ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan Orde baru selama hampir 32
tahun, keinginan untuk menyusun tatanan kehidupan baru menuju masyarakat madani
berkembang di Indonesia. Keinginan untuk menyusun tatanan baru yang lebih
mengedepankan civil society itu dimulai dengan disusunnya seperangkat peraturan
perundang-undangan yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan rakyat
sebagaimana tuntutan reformasi yang telah melengserkan Soeharto dari kursi
kepresidenan.Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP
No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat banyak amanat untuk membentuk
perundang-undangan yang akan mengawal pembangunan orde reformasi, termasuk
amanat untuk menyelesaikan masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto
beserta kroni-kroninya.
6. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 28 tahun
1999 mempunyai judul yang sama dengan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang
Penyelenggara negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Lahirnya undang-undang ini memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru
atau kriminalisasi atas pengertian Kolusi dan Nepotisme.Dalam undang-undang ini
diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana, yaitu adalah permufakatan atau
kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara, atau antara
penyelenggara negara dan pihak lain, yang merugikan orang lain, masyarakat, dan
atau Negara. Sedangkan tindak pidana nepotisme didefinisikan sebagai adalah
setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa, dan Negara.
7. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya undang-undang
pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999 dilatar belakangi oleh 2 alasan,
yaitu pertama bahwa sesuai dengan bergulirnya orde reformasi dianggap perlu
meletakkan nilai-nilai baru atas upaya pemberantasan korupsi, dan kedua
undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama
dan tidak efektif lagi. Apa yang diatur sebagai tindak pidana korupsi di dalam
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebetulnya tidak sungguh-sungguh suatu yang
baru karena pembuat undang-undang masih banyak menggunakan ketentuan yang
terdapat di dalam undang-undang sebelumnya.
8. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 merupakan undang-undang yang lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan
kekurangan undang-undang terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan di atas,
beberapa kelemahan tersebut kemudian direvisi di dalam undang-undang baru.
Adapun revisi atas kelemahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah:
a. Penarikan
pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai tindak pidana korupsi
dilakukan dengan cara mengadopsi isi pasal secara keseluruhan sehingga
perubahan KUHP tidak akan mengakibatkan ketidaksinkronan.
b. Pengaturan
alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas perbuatan korupsi yang dilakukan
atas dana-dana yang digunakan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya, bencana nasional, dan krisis moneter.
c. Dicantumkannya
aturan peralihan yang secara tegas menjadi jembatan antara undang-undang lama
yang sudah tidak berlaku dengan adanya undang-undang baru, sehingga tidak lagi
menimbulkan resiko kekosingan hukum yang dapat merugikan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
9. Undang-undang
Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya Undang-undang Nomor 30
tahun 2002 merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang
menghendaki dibentuknya suatu komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai suatu tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime),
pemberantasan korupsi dianggap perlu dilakukan dengan cara-cara yang juga luar
biasa. Cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa itu sebetulnya telah
tercantum di dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 di antaranya mengenai
alat-alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian di pengadilan
termasuk adanya beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang di mana
pelaku tindak pidana korupsi juga dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana korupsi.
Namun demikian, pembantukan
Komisi Pemberantasan Korupsi tetap dianggap sebagai penjelmaan upaya luar biasa
dari pemberantasan korupsi, utamanya dengan mengingat bahwa KPK diberikan
kewenangan yang lebih besar dibanding insitutsi pemberantasan korupsi yang
telah ada sebelumnya yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
10.
Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Merajalelalanya korupsi ternyata
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh belahan dunia. Hal ini
terbukti dengan lahirnya United Nation
Convention Against Corruption atau UNCAC sebagai hasil dari Konferensi Merida
di Meksiko tahun 2003. Sebagai wujud keprihatinan dunia atas wabah korupsi,
melalui UNCAC disepakati untuk mengubah tatanan dunia dan mempererat kerjasama
pemberantasan korupsi. Beberapa hal baru yang diatur di dalam UNCAC antara lain
kerjasama hukum timbal balik (mutual legal assistance), pertukaran narapidana
(transfer of sentence person), korupsi di lingkungan swasta (corruption in
public sector), pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery), dan
lain-lain.
11. Peraturan
Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 71 tahun 2000 merupakan amanat Undang-un-dang Nomor 31 tahun 1999 yang
mengatur adanya peran serta ma-syarakat dalam pem-berantasan korupsi.Adapun
latar belakang diaturnya peran serta masyarakat dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 adalah ka-rena korupsi menyebabkan krisis kepercayaan. Korupsi di berbagai
bidang pemerintahan menyebabkan kepercay-aan dan dukungan terhadap pemerintahan
menjadi mi-nim, padahal tanpa dukungan rakyat program perbaikan dalam bentuk
apapun tidak akan berhasil.
Sebaliknya jika rakyat memiliki
kepercayaan dan mendukung pemerin-tah serta berperan serta dalam pemberantasan
korupsi maka korupsi bisa ditekan semaksimal mungkin.
### DELIK KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU
NO. 20
TAHUN 2001
Berdasarkan undang-undang, kita dapat membedakan 30
perbuatan yang masuk kategori sebagai delik korupsi. 30 perbuatan korupsi itu
diatur dalam 13 pasal. Untuk mempermudah pemahaman, penjelasan atas delik-delik
korupsi dalam undang-undang dilakukan berdasarkan perumusan delik sebagaimana
dijelaskan pada bagian terdahulu, yaitu delik korupsi yang dirumuskan oleh
pembuat undang-undang dan delik korupsi yang ditarik dari KUHP baik secara
langsung maupun tidak secara langsung. Namun tidak semua delik korupsi di dalam
undang-undang yang akan dijelaskan disini, tetapi beberapa perbuatan korupsi
yang utama dan umum saja termasuk mengenai gratifikasi yang belum banyak
dipahami oleh masyarakat. Adapun delik-delik korupsi yang diatur dalam
undang-undang adalah:
• Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
• Pasal 3
Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
• Pasal 13
Setiap orang yang
memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
• Pasal 15
Setiap orang yang
melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
• Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
• Pasal 11
Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah). (UU No. 31 Tahun 1999).
• Pasal 12
‘Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
(UU No. 31 Tahun 1999).
• Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150,000,000,00 (seratus limapuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 750,000,000,00 (tujuhratus limapuluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat
atau pendapat yag akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (UU No. 31 Tahun
1999).
• Pasal 7
“Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah)”. (UU No. 31 Tahun 1999).
• Pasal 8
“Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).” (UU No. 31 Tahun 1999)”.
• Pasal 9
“Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(UU No. 31 Tahun 1999).
• Pasal 10
“Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah)”. (UU No. 31 Tahun 1999).
H.Peran Siswa dalam
Gerakan Anti Korupsi
Korupsi adalah kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang
berdampak sangat luar biasa. Pada dasarnya korupsi berdampak buruk pada seluruh
sendi kehidupan manusia. Korupsi merupakan salah satu faktor penyebab utama
tidak tercapainya keadilan dan kemakmuran suatu bangsa. Korupsi juga berdampak
buruk pada sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum,
sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan. Yang tidak kalah
penting korupsi juga dapat merendahkan martabat suatu bangsa dalam tata
pergaulan internasional.
Korupsi yang terjadi di
Indonesia sudah bersifat kolosal dan ibarat penyakit sudah sulit untuk
disembuhkan. Korupsi dalam berbagai tingkatan sudah terjadi pada hampir seluruh
sendi kehidupan dan dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat. Dengan kata
lain korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang sudah
dianggap biasa. Oleh karena itu sebagian masyarakat menganggap korupsi bukan
lagi merupakan kejahatan besar. Jika kondisi ini tetap dibiarkan seperti itu,
maka hampir dapat dipastikan cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan
negeri ini. Oleh karena itu sudah semestinya kita menempatkan korupsi sebagai
musuh bersama (common enemy) yang harus kita perangi bersama-sama dengan
sungguh-sungguh
A. PERAN SISWA
Dengan kemampuan intelektual
yang tinggi, jiwa muda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah
terbukti bahwa siswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan
bangsa ini. Dalam beberapa peristiwa besar perjalanan bangsa ini telah terbukti
bahwa siswa berperan sangat penting sebagai agen perubahan (agent of change).
Dalam konteks gerakan anti-korupsi, siswa juga diharapkan dapat tampil di depan
menjadi motor penggerak. Siswa didukung oleh kompetensi dasar yang mereka
miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk
menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka miliki tersebut siswa
diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat,
mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak
hukum.
B. KETERLIBATAN SISWA
Keterlibatan siswa dalam gerakan
anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu di
lingkungan keluarga, di lingkungan
sekolah, di masyarakat sekitar, dan di
tingkat lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi
tolak ukur yang pertama dan utama bagi siswa untuk menguji apakah proses
internalisasi anti korupsi di dalam diri mereka sudah terjadi.
Keterlibatan siswa dalam gerakan
anti korupsi di lingkungan sekolah tidak bisa dilepaskan dari status siswa
sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban ikut menjalankan visi dan misi
sekolahnya. Sedangkan keterlibatan siswa dalam gerakan anti korupsi di
masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait dengan status siswa sebagai
seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
masyarakat lainnya.
1. Di Lingkungan KeluargaInternalisasi karakter anti
korupsi di dalam diri siswa dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Kegiatan tersebut
dapat berupa melakukan pengamatan terhadap perilaku keseharian anggota
keluarga, misalnya:
a. Apakah
penghasilan orang tua tidak berasal dari tindak korupsi? Apakah orang tua tidak
menyalahgunakan fasilitas kantor yang menjadi haknya?
b. Apakah ada
diantara anggota keluarga yang menggunakan produk-produk bajakan (lagu, film,
software, tas, sepatu, dsb).
2. Di Lingkungan Sekolah
Keterlibatan siswa dalam gerakan
anti-korupsi di lingkungan sekolah dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu untuk individu siswanya sendiri, dan untuk
komunitas siswa. Untuk konteks individu, seorang siswa diharapkan dapat
mencegah agar dirinya sendiri tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi.
Sedangkan untuk konteks komunitas, seorang siswa diharapkan dapat mencegah agar
rekan-rekannya sesama siswa dan organisasi kesiswaan di sekolah tidak
berperilaku koruptif dan tidak korupsi.
Agar seorang siswa dapat
berperan dengan baik dalam gerakan anti-korupsi maka pertama-pertama siswa
tersebut harus berperilaku anti-koruptif dan tidak korupsi dalam berbagai
tingkatan. Dengan demikian siswa tersebut harus mempunyai nilai-nilai
anti-korupsi dan memahami korupsi dan prinsip-prinsip anti-korupsi. Kedua hal
ini dapat diperoleh dari mengikuti kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar dan
kuliah pendidikan anti korupsi. Nilai-nilai dan pengetahuan yang diperoleh
tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain
seorang siswa harus mampu mendemonstrasikan bahwa dirinya bersih dan jauh dari
perbuatan korupsi.
3. Di Masyarakat Sekitar
Hal yang sama dapat dilakukan
oleh siswa atau kelompok siswa untuk mengamati lingkungan di lingkungan
masyarakat sekitar, misalnya:
a. Apakah
kantor-kantor pemerintah menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakatnya
dengan sewajarnya: pembuatan KTP, SIM, KK, laporan kehilangan, pelayanan pajak?
Adakah biaya yang diperlukan untuk pembuatan surat-surat atau dokumen tersebut?
Wajarkah jumlah biaya dan apakah jumlah biaya tersebut resmi diumumkan secara
transparan sehingga masyarakat umum tahu?
b. Apakah
infrastruktur kota bagi pelayanan publik sudah memadai? Misalnya: kondisi
jalan, penerangan terutama di waktu malam, ketersediaan fasilitas umum,
rambu-rambu penyeberangan jalan, dsb.
c. Apakah
pelayanan publik untuk masyarakat miskin sudah memadai? Misalnya: pembagian
kompor gas, Bantuan Langsung Tunai, dsb.
4. Di Tingkat Lokal Dan Nasional
Dalam konteks nasional,
keterlibatan seorang siswa dalam gerakan anti korupsi bertujuan agar dapat
mencegah terjadinya perilaku koruptif dan tindak korupsi yang masif dan
sistematis di masyarakat. Siswa dengan kompetensi yang dimilikinya dapat
menjadi pemimpin (leader) dalam gerakan
massa anti korupsi baik yang bersifat lokal maupun nasional.Berawal dari kegiatan-kegiatan
yang terorganisir dari dalam sekolah, siswa dapat menyebarkan perilaku anti
korupsi kepada masyarakat luas, dimulai dari masyarakat yang berada di sekitar
sekolah kemudian akan meluas ke lingkup yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan anti
korupsi yang dirancang dan dilaksanakan secara bersama dan berkesinambungan
oleh siswa dari berbagai Perguruan Tinggi akan mampu membangunkan kesadaran
masyarakat akan buruknya korupsi yang terjadi di suatu negara.
Penutup
Dengan kekayaan yang sangat
melimpah ini, rakyat Indonesia seharusnya dapat hidup lebih baik dan bahkan
sangat mungkin untuk menjadi yang terbaik di dunia ini. Sudah sewajarnya kalau
penduduk Indonesia hidup sejahtera jika melihat kekayaan yang dimiliki
tersebut. Tidak ada orang yang kelaparan, tidak ada orang yang menderita karena
sakit dan tidak mampu untuk berobat, tidak ada lagi kebodohan karena setiap
orang mampu bersekolah sampai tingkat yang paling tinggi, tidak ada orang yang
tinggal di kolong jembatan lagi karena semua orang mempunyai tempat tinggal
layak, tidak ada kemacetan yang parah karena kota tertata dengan baik,
anak-anak tumbuh sehat karena ketercukupan gizi yang baik.
Anak-anak jalanan, pengemis, dan
penyakit masyarakat lain sudah menjadi cerita masa lalu yang sudah tidak ada
lagi. Anak yatim, orang-orang usia lanjut hidup sejahtera dan diperhatikan oleh
pemerintah. Bukan sebuah kesengajaan bahwa di tengah kata Indonesia ada kata
‘ONE’, ind-one-sia, yang berarti satu. Tentunya ini akan bisa diartikan bahwa
Indonesia bisa menjadi negara nomor satu di dunia. Tentu saja bisa, dengan
melihat begitu kayanya negeri ini, subur, gemah ripah loh jinawi, Indonesia
sangat potensial untuk menjadi negara nomor satu di dunia. Tentunya dengan
catatan, tidak ada korupsi, tidak ada yang mengambil hak orang lain, dan tidak
ada yang menjarah kekayaan negara.Sebab apabila masih ada yang korupsi dan
mengambil hak-hak orang lain, Negara Indonesia tidak lagi ‘ONE’ namun akan
berubah menjadi In-DONE-sia, “DONE”, selesai! Tamat!, Bangsa dan Negara ini
selesai! Indonesia sebagai bangsa dan Negara tidak lagi eksis. Kemudian, kalau
Indonesia tidak lagi eksis, Indonesia hanya menjadi cerita masa lalu, bagaimana
kelak nasib anak cucu kita? Anda bisa membayangkan?
Oleh sebab itu mari satukan
langkah, mari perangi korupsi dengan mengawali dari diri sendiri, dengan
harapan besar bagi kejayaan negeri ini serta kesejahteraan bangsa yang
ada di dalamnya. Tidak ada yang tidak mungkin di muka
bumi ini, sesuatu yang besar selalu diawali dengan satu langkah kecil namun
pasti dan penuh integritas. Selamat datang generasi anti korupsi!.
Daftrar pustaka :